Sabtu, 08 Desember 2012

percobaan pembunuhan


Pengertian Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan

A.     Pengertian Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tapi belum selesai atau belum sempurna. Sudah barang tentu walaupun KUHP telah merumuskan berbagai jenis kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk masing-masing, hukum pidana tidak menganbil resiko agar kejahatan terjadi sepenuhnya, atau akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan permulaan, agar dapat dicegah terjadinya korban. Bukanlah prevensi merupakan dasar yang cukup penting di dalam hukum pidana modern?
Akan tetapi, tentu saja tidak segala macam pelanggaran hukum yang berlaku dalam taraf pemula atau percobaan diancam dengan pidana. Ancaman pidana hanya ditunjukan kepada kejahatan bukan palanggaran seperti tercantum dalam Pasal 54 KUHP yang berbinyi: percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana.[1]
Namun, ternyata bahwa tidak semua kejahatan bentuk percobaannya diancam dengan pidana. Ada sejumlah kecil kejahatan yang bentuk percobaannya tidak diancam pidana, antara lain adalah Pasal 184 tentang perkelahian tanding, Pasal 302 tentang penganiayaan hewan, dan Pasal 351-352 tentang penganiayaan.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa kejahatan yang baru pada taraf permulaan sudah diancam dengan pidana, kecuali jawaban umum yang mengatakan bahwa pencegahan lebih baik dari pada menunggu sampai terjadinya korban, terdapat dua teori yaitu:
1.      Teori subjektif yang mendasarkan pada pikiran bahwa orangnya atau pelakunya yang secara potensial berbahaya; dan
2.      Teori objektif, yang mendasarkan pada pikiran bahwa perbuatannya secara potensial berbahaya.[2]
Berdasarkan pasal 53, 335 dan pasal 336 tentang percobaan pembunuhan disebutkan :
Pasal 53:

1.      Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah dinyatakan dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2.      Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3.      Jika pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4.      Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.[3]

Pasal 54:
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. Kedua pasal tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.
Pengertian percobaan tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun yang ditetapkan bahwa percobaan melakukan tindak pidana diancam dengan pidana jika telah memenuhi sejumah persyaratan tertentu.
Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.[4]
Pada pasal 335:

1.      Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau didenda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
a.       Barang siapa yang melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai acaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenagkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
b.      Barang siapa yang memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman atau pencemaran tertulis.
2.      Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas  pengaduan orang yang terluka.

Pasal 336:

1.      Dianacam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delalapan bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan suatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.
2.      Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.[5]       

Berat ringannya penjatuhan pidana telah saatnya mendapat perhatian dari penegak hukum baik penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim pada pengadilan negeri/tinggi, dan Mahkamah Agung untuk dapat menggunakan bahan pertimbangan yang saksama.
B.     Unsur-unsur Percobaan Pembunuhan
Pasal 53 di atas mengandung tiga unsur percobaan yaitu:
1.      Adanya Niat
Di dalam teks bahasa Belanda niat adalah “voornemen” yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak bukan kejahatan, atau lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan (hazewinkel-suriga; jongkers’ simon), namun, meliputi semua ataupun dengan sadar kemungkinan. Namun, menurut Vos yang dimaksud dengan kesengajaan adalah kesengajaan sebagai maksud.
Adanya kehendak atau niat, berkenaan dengan syarat ini timbul suatu persoalan oleh karena kata kehendak dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut menunjukkan kepada pengertian opzet. Opzet ditinjau dari sudut tingkatannya meliputi opzet  dalam arti sempit dan opzet luas. Hal ini menimbulkan pernyataan apakah kata kehendak dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut menunjukkan opzet dalam arti sempit dan terdiri atas opzet sebagai tujuan, atau opzet dalam arti luas yang terdiri dari:
a.       Opzet sebagai tujuan.
b.      Obzet sebagai kesadaran akan tujuan.
c.       Obzet sebagai kesadaran akan kemunginan.
Menurut Moeljatno berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
a.       Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul
b.      Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
c.       Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
d.      Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan pelaksanaan.
e.       Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan.
Jenis-jenis dalam percobaan terdiri atas :
1)      Percobaan selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu percobaan apabila sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2)      Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3)      Percobaan tidak mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
a.       Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
b.      Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Percobaan tidak mampu dikenal 4 bentuk:
1)      Percobaan tidak mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat dipakai.
2)      Percobaan mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
3)      Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak dapat dipakai.
4)      Percobaan relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang bersangkutan.
Percobaan yang dikualifikasikan yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau tersendiri.
2.      Adanya permulaan pelaksanaa.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang mustahil apabila seseorang akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (R. Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.[6]
Kehendak saja atau niat belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana, sebab jika hanya berkehendak saja, maka orang itu tidak diancam pidana, berkehendal adalah bebas. Permulaan pelaksanaan telah terjadi perbuatan tertentu dan ini mengarah pada perbuatan yang disebut dengan delik. Walaupun kejahatannya sederhana, jika dikaji lebih mendalan akan menimbulkan kesulitan yang cukup besar untuk menafsirkan dengan cepat pengertian permulaan pelaksanaan itu.
a.       Pertama pelaksanaan permulaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan.
b.      Kedua apakah permulaan pelaksanaan itu “permulaan pelaksanaan dari kehendak” ataukah” permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Di sini baru timbul berbagai pendapat atau teori. Menurut Van Hamel, penganut teori subjektif, mengatakan bahwa permulaan pelaksanaan itu ada jika dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan perbuatannya.
Simons, menganut teori objektif, membedakan untuk delik pelaksanaan terjadi bila perbuatannya merupakan sebagian dari perbuatan terlarang; sedangkan untuk delik materil, permulaan pelaksanaan ada bila perbuatan itu sifatnya sedemikian rupa sehingga secara langsung menimbulkan akibat yang terlarang.
3.      Tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata karena kehendak sendiri.
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara sukarela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.[7]
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan bahwa, yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. Dengan kata lain niat petindak (pelaku) untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan bahwa tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang.
Keadaan di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu. Keadaan fisik dalam hal pembunuhan yang hendak dilakukan oleh A terhadap B misalnya:
a.       Pada saat A membidikkan pistolnya, tangan A dipukul oleh C
b.      Teh beracun yang disediakan A ketika hendak diminum oleh B, mendadak diserbu oleh seekor kucing, sehingga tumpah
c.       Tembakan yang mengenai B, hanya mengakibatkan luka ringan, atau B tidak apa-apa karena tembakannya meleset.
Selanjutnya disebutkan bahwa, keadaan-keadaan psikis misalnya pada saat ia hendak menembakkan pistolnya, ia merasa takut karena jangan-jangan di sekitarnya itu ada petugas hukum yang akan memergoki perbuatannya. Keadaan itu bukan hanya tindakan manusia saja, tetapi juga perbuatan makhluk lainnya, maupun karena peristiwa alam. Bahkan keadaan psikis yang datangnya dari luar, sehingga tidak terselesaikan hal itu berada di luar kehendak pelaku. Rasa takut sebagai penyebab tidak diselesaikannya tindakan itu dalam hukum pidana dianggap sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak.
Tetapi apakah rasa takut itu selalu dapat dianggap sebagai pemenuhan syarat ketiga dari percobaan yang dengan demikian dapat dipidana, adalah tergantung kepada sampai dimana rasa takut itu telah mempengaruhi pelaku, yang menyebabkan dia tidak meneruskan tindakannya itu. Kalau misalnya rasa takut itu telah mempengaruhi, yang karenanya ia mengurungkan niatnya dengan sukarela, maka percobaan tidak terjadi. Tegasnya tenggang waktu yang masih dapat dibenarkan untuk menyatakan rasa penyesalan dihubungkan dengan syarat kedua dan ketiga, harus selalu menjadi perhatian dan menilainya secara kasuistis pada setiap kejadian.
Penggunaan istilah semata-mata, perlu diperhatikan pula. Hal ini berarti meskipun pengurungan niat atau tidak meneruskan pelaksanaan tindakan tersebut secara sukarela dan karena penyesalan, tetapi disertai dengan perasaan takut, maka dalam hal seperti ini pelaku tetap masih dapat dipidana karena percobaan.[8]
Pembuktian yang bersifat negatif sangatlah sulit, sebab jaksa harus membuktikan bahwa tindak pelaku telah menghentikan perbuatannya tidak sukarela, agar dapat menurutnya dan terdakwa dipatuhi pidana atas dasar percobaan melakukan kejahatan. Tetapi hal itu kemudian diperingan dengan putusan HR tahun 1924 yang menjadi yurisprudensi, yaitu bahwa: Barangsiapa yang dengan sukarela mengundurkan diri tidak dapat dipidana. [9]
Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata, maka adanya unsur ketika itu dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain yang cukup memberikan petunjuk apa sebabnya delik tersebut tidak selesai. Jadi tidak harus membuktikan bahwa pengunduran diri itu tidak secara sukarela.
C.     Percobaan Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Hukum Pidana Islam merupakan salah satu bagian dari syari`at Islam yang berdasarkan Al-Qur`an dan Hadist atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetapkan hukuman. Dalam hukum ini terdapat beberapa anggapan, di antaranya adanya anggapan yang mengatakan hukum ini tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman modern dikarenakan hukuman ini diangap hanya berlaku pada zaman Rasul.
Anggapan ini sebenarnya dipengahuri oleh pemikiran orientalis barat pada umumnya, yang mengatakan hukum pidana Islam itu hukum yang kejam, tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia dan sebagainya. Selanjutnya melalui skripsi ini kami mencoba menjelaskan berbagai masalah terkait permasalah kontemporer yang saat ini menghiggapi masyarakat, kami ingin menerangkan bahwa pada dasarnya semua masalah itu telah dibahas dikalangan fuqaha maupun para sarjana hukum positif, hal itu adalah gabungan jarimah, turut serta melakukan jarimah, percobaan melakukan jarimah, dan macam-macam jarimah serta uqubahnya.[10]
Teori tentang jarimah ’’percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqaha, bahkan istilah Percobaan adalah permulaan dari pelaksanaan jarimah yang tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Pada umumnya dapat dikelompokkan pada percobaan tidak selesai karena terdapat kendala dari luar misalnya pelaku telah membongkar dinding rumah untuk mencuri, tetapi tidak sempat untuk mencuri karena ada peronda. jelasnya perbuatan itu tidak selesai menurut kehendaknya.
Percobaan sia-sia adalah Perbuatan yang selesai dikerjakan tetapi tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, misal seseoarang ingin membunuh orang lain dengan racun dan diminum oleh orang tersebut, ternyata bukan air racun tetapi gula : sehingga usaha pembunuhan gagal walaupun pekerjaannya selesai dilakukan. Tetapi ada juga perbuatan menuju jarimah berangkai, seperti kasus pencurian barang dalam rumah misalnya, pencuri mulai dari membongkar dinding untuk mencuri, kemudian ia insaf dan menggagalkan niatnya untuk mencuri, kegagalan itu datang dari dalam dirinya sendiri. Maka hal seperti itu tidak dikatagorikan dalam pengertian percobaan.
Dapat kita ketahui bahwa untuk melakukan suatu jarimah kadang-kadang tidak diperlukan kejahatan lain untuk mendahuluinya, seperti pembunuhan langsung dengan senapan, pisau atau pemukul. Tetapi adakalanya diperlukan kejahatan lain untuk mendahuluinya, seperti pembunuhan orang dalam gedung, harus merusak atau menghancurkan gedung itu. Pada pidana Indonesia, kita mengenal adanya gabungan kejahatan yang real ataupun yang ideal.
Islam hanya membagi kejahatan kepada:
1.      Qishas/diyat
2.      Hudud, pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, khamar, memerangi Allah dan Rasul.
3.      Ta’zir yaitu bermacam-macam pidana berkaitan dengan ketentraman umum yang dikelompokkan sebagai perbuatan maksiat.
Pidana Islam melihat setiap perbuatan sebagai amal yang selesai dengan hukuman. Yang tersedia. Tidak dikenal dengan adanya percobaan pada qishas / diyat atau hudud, jika perbuatan-perbuatan itu tidak terwujud, hukuman pun tidak dapat diterapkan. Apabila terlaksana perbuatan menuju perbuatan sepenuhnya qishas/diyat atau hudud yang dikenal dengan percobaan, perubahan itu disebut suatu maksiat sepanjang berlawanan dengan nushus (nash).
Percobaan pelanggaranpun termasuk juga perbuatan yang tergolong maksiat. Pidana Islam pada prinsipnya, bahwa niat/perencanaan tanpa pelaksanaan perbuatan jahat, tidak diancam dengan dosa apalagi dengan hukuman. Sedangkan niat/perencanaan kebaikan adalah pahala. Mengenai persiapan untuk melakukan jarimah, tetap diukur apakah perbuatan itu termasuk maksiat atau tidak. Itulah ukuran persiapan itu hukuman atau tidak oleh pidana ta’zir.
Sesuai dengan pendirian syara’ maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukuman yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma’siat dan hukumannya adalah ta’zir.[11]
Walaupun demikian, masalah percobaan melakukan jarimah disinggung secara umum, seperti seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui 3 fase, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan. Sebagai contoh, seseorang yang akan melakukan pencurian mula-mula berfikir apakah jadi mencuri atau tidak. Bila telah kuat niatnya untuk mencuri, maka mempersiapkan alat-alatnya, seperti membeli kunci atau pencongkel pintu. Selanjutnya, ia berangkat untuk mencuri. Berikut adalah beberapa fase tersebut:
a.       Fase pemikiran dan perencanaan (Marhalah Al-Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat dan tidak dapat dikenai sanksi, karena menurut aturan dalam syariat Islam seseorang tidak dapat di tuntut karena lintasan hatinya atau niatannya yang tersimpan dalam dirinya sesuai dalam kata-kata rasulullah Saw sebagai berikut:  ”tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”. Meskipun menurut para ulama tasawuf sering memikirkan hal-hal yang maksiat menunjukkan hatinya belum suci. Aturan tersebut sudah terdapat dalam syariat Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup atau sementara (fasal 230 dan 234). Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun, dan karena pembunuhan biasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b.      Fase persiapan (Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melakukan jarimah. Seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Dalam fase ini ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama ia tidak dikenakan sanksi bila yang dilakukannya itu bukan suatu maksiat. Kemungkinan yang kedua pelakunya dapat dikenakan sanksi bila perbuatannya merupakan suatu naksiat. Alasan untuk tidak dimasukkan fase persiapan sebagai jarimah ialah bahwa perbuatan seseorang yang biasa di hukum harus berupa perbuatan maksiat dan maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran hak tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah yang tidak berisi suatu kerugian nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian maka anggapan ini masih bisa di ta’wilkan. Sedangkan menurut aturan syariah seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
c.       Fase pelaksanaan (Marhalah Al-Tanfidz)
Dalam fase ini perbuatan seorang pelaku tindak pidana telah dapat dikenai sanksi bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai. Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu, dan sebagainya. Dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa di hukum ialah: apabila perbuatan tersebut sudah sampai pada kategori maksiat. Untuk itu semua sangat erat sekali hubungannya dengan niat pelaku. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menunjukkan apakah perbuatan itu maksiat atau tidak.



[3] R. Soenarto Soerodiproto, KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo persada, Jakarta , (Edisi Kelima), 
[4] Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1980),
[5] R. Soenarto Soerodiproto, Op cit,
[6] Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Taruma nagara, 1996),
[7] E.Y. Kanter daN S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakata: Alumni AHM-PTHM, 1982),
[8] E.Y. Kanter daN S.R. Sianturi, Ibid, 
[9] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, 2010, PT Rajagrafindo Perseda, Jakarta, (Edisi Pertama), Hal 87.


[10] Ahmad Hanafi, Asas-asas hukuk pidana Islam, Bulan bintang, 2005.
[11] Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993.