Pengertian Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
A. Pengertian Tindak Pidana Percobaan Pembunuhan
Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai,
tapi belum selesai atau belum sempurna. Sudah barang tentu walaupun KUHP telah
merumuskan berbagai jenis kejahatan dan mengancam dengan pidana untuk
masing-masing, hukum pidana tidak menganbil resiko agar kejahatan terjadi
sepenuhnya, atau akibatnya KUHP juga mengancam perbuatan yang baru merupakan
permulaan, agar dapat dicegah terjadinya korban. Bukanlah prevensi merupakan
dasar yang cukup penting di dalam hukum pidana modern?
Akan tetapi, tentu saja tidak segala macam pelanggaran hukum yang berlaku
dalam taraf pemula atau percobaan diancam dengan pidana. Ancaman pidana hanya
ditunjukan kepada kejahatan bukan palanggaran seperti tercantum dalam Pasal 54
KUHP yang berbinyi: percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana.[1]
Namun, ternyata bahwa tidak semua kejahatan bentuk percobaannya diancam
dengan pidana. Ada sejumlah kecil kejahatan yang bentuk percobaannya tidak
diancam pidana, antara lain adalah Pasal 184 tentang perkelahian tanding, Pasal
302 tentang penganiayaan hewan, dan Pasal 351-352 tentang penganiayaan.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa kejahatan yang baru pada taraf permulaan
sudah diancam dengan pidana, kecuali jawaban umum yang mengatakan bahwa
pencegahan lebih baik dari pada menunggu sampai terjadinya korban, terdapat dua
teori yaitu:
1.
Teori
subjektif yang mendasarkan pada pikiran bahwa orangnya atau pelakunya yang
secara potensial berbahaya; dan
2. Teori objektif, yang mendasarkan pada pikiran bahwa
perbuatannya secara potensial berbahaya.[2]
Berdasarkan pasal 53, 335 dan pasal 336 tentang percobaan pembunuhan disebutkan :
Pasal 53:
1.
Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah dinyatakan dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
2.
Maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
3.
Jika
pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4.
Pidana
tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.[3]
Pasal 54:
Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana. Kedua pasal tersebut tidak memberikan
defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan
(poging), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan.
Pengertian percobaan tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun yang
ditetapkan bahwa percobaan melakukan tindak pidana diancam dengan pidana jika
telah memenuhi sejumah persyaratan tertentu.
Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai
menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu,
atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak
selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak
mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang
itu.[4]
Pada pasal 335:
1.
Diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau didenda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah:
a.
Barang
siapa yang melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan
atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun
perlakukan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai acaman kekerasan,
sesuatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenagkan, baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain.
b.
Barang
siapa yang memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan
sesuatu dengan ancaman atau pencemaran tertulis.
2.
Dalam
hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terluka.
Pasal 336:
1.
Dianacam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delalapan bulan, barang siapa
mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan
dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan menimbulkan bahaya umum bagi
keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar
kehormatan kesusilaan, dengan suatu kejahatan terhadap nyawa, dengan
penganiayaan berat atau dengan pembakaran.
2.
Bilamana
ancaman dilakukan secara tertulis dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana
penjara paling lama lima tahun.[5]
Berat ringannya
penjatuhan pidana telah saatnya mendapat perhatian dari penegak hukum baik
penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim pada pengadilan negeri/tinggi, dan
Mahkamah Agung untuk dapat menggunakan bahan pertimbangan yang saksama.
B.
Unsur-unsur
Percobaan Pembunuhan
Pasal 53 di atas mengandung tiga unsur percobaan yaitu:
1.
Adanya
Niat
Di dalam teks bahasa Belanda niat adalah “voornemen” yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak bukan
kejahatan, atau lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan (hazewinkel-suriga; jongkers’ simon),
namun, meliputi semua ataupun dengan sadar kemungkinan. Namun, menurut Vos yang
dimaksud dengan kesengajaan adalah kesengajaan sebagai maksud.
Adanya kehendak atau niat, berkenaan dengan syarat ini timbul suatu
persoalan oleh karena kata kehendak dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut
menunjukkan kepada pengertian opzet. Opzet ditinjau dari sudut tingkatannya
meliputi opzet dalam arti sempit dan opzet luas. Hal ini menimbulkan pernyataan apakah kata kehendak
dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP tersebut menunjukkan opzet dalam arti sempit dan terdiri atas opzet sebagai tujuan, atau opzet
dalam arti luas yang terdiri dari:
a.
Opzet
sebagai tujuan.
b.
Obzet
sebagai kesadaran akan tujuan.
c.
Obzet
sebagai kesadaran akan kemunginan.
Menurut
Moeljatno berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi
niat secra potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di
tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
a.
Semua perbuatan
yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang
tidak timbul
b.
Kalau belum
semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat
batin yang memberi arah kepada percobaan.
c.
Oleh karena
niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat
jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu
diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada
sejak niat belum ditunaikan.
d.
Harus ada
permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan
pelaksanaan.
e.
Menurut mut
harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan.
Jenis-jenis
dalam percobaan terdiri atas :
1)
Percobaan
selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu percobaan
apabila sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak
pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh : seorang A menembak
B tetapi meleset.
2)
Percobaan
tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila
tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana
yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai. Contoh
: A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3)
Percobaan tidak
mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak
dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana
selesai karena :
a.
Alat yang
dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
b.
Obyek tindak
pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Percobaan tidak
mampu dikenal 4 bentuk:
1)
Percobaan tidak
mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali
menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat
dipakai.
2)
Percobaan
mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak
pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
3)
Percobaan
relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya
tidak dapat dipakai.
4)
Percobaan
relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek
tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang
bersangkutan.
Percobaan yang
dikualifikasikan yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi
tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya
menjadi delik hukum lain atau tersendiri.
2.
Adanya
permulaan pelaksanaa.
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia
berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui
apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui
jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui
dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang mustahil apabila seseorang
akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam
percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan
permulaan pelaksanaan.
Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum
karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur niat
yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van
uitvoering).
Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan apakah
telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang
mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya
terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat
perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan (R. Soesilo
mempergunakan istilah permulaan perbuatan).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).
Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai “permulaan
pelaksanaan dari niat” ataukah “permulaan pelaksanaan dari kejahatan”.[6]
Kehendak saja atau niat belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana,
sebab jika hanya berkehendak saja, maka orang itu tidak diancam pidana,
berkehendal adalah bebas. Permulaan pelaksanaan telah terjadi perbuatan
tertentu dan ini mengarah pada perbuatan yang disebut dengan delik. Walaupun
kejahatannya sederhana, jika dikaji lebih mendalan akan menimbulkan kesulitan
yang cukup besar untuk menafsirkan dengan cepat pengertian permulaan
pelaksanaan itu.
a.
Pertama
pelaksanaan permulaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan.
b.
Kedua
apakah permulaan pelaksanaan itu “permulaan pelaksanaan dari kehendak” ataukah”
permulaan pelaksanaan dari kejahatan.
Di sini
baru timbul berbagai pendapat atau teori. Menurut Van Hamel, penganut teori
subjektif, mengatakan bahwa permulaan pelaksanaan itu ada jika dari perbuatan
itu telah terbukti kehendak yang kuat dari pelaku untuk melaksanakan
perbuatannya.
Simons, menganut teori objektif, membedakan untuk delik pelaksanaan terjadi
bila perbuatannya merupakan sebagian dari perbuatan terlarang; sedangkan untuk
delik materil, permulaan pelaksanaan ada bila perbuatan itu sifatnya sedemikian
rupa sehingga secara langsung menimbulkan akibat yang terlarang.
3.
Tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata karena kehendak sendiri.
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan
menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan
karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika
seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana
dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan
pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri
orang tersebut yang secara sukarela mengundurkan diri dari niatnya semula.
Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena
adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk
mengurungkan niatnya semula.[7]
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan bahwa, yang tidak selesai itu
adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan
menurut rumusannya. Dengan kata lain niat petindak (pelaku) untuk melaksanakan
kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum
sempurna terjadi kejahatan itu. Dapat juga dikatakan bahwa tindakan untuk
merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum
pidana itu terhenti sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan
undang-undang.
Keadaan di luar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap keadaan baik
badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya dari luar yang
menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.
Keadaan fisik dalam hal pembunuhan yang hendak dilakukan oleh A terhadap B
misalnya:
a.
Pada
saat A membidikkan pistolnya, tangan A dipukul oleh C
b.
Teh
beracun yang disediakan A ketika hendak diminum oleh B, mendadak diserbu oleh seekor
kucing, sehingga tumpah
c.
Tembakan
yang mengenai B, hanya mengakibatkan luka ringan, atau B tidak apa-apa karena
tembakannya meleset.
Selanjutnya disebutkan bahwa, keadaan-keadaan psikis misalnya pada saat ia
hendak menembakkan pistolnya, ia merasa takut karena jangan-jangan di
sekitarnya itu ada petugas hukum yang akan memergoki perbuatannya. Keadaan itu
bukan hanya tindakan manusia saja, tetapi juga perbuatan makhluk lainnya,
maupun karena peristiwa alam. Bahkan keadaan psikis yang datangnya dari luar,
sehingga tidak terselesaikan hal itu berada di luar kehendak pelaku. Rasa takut
sebagai penyebab tidak diselesaikannya tindakan itu dalam hukum pidana dianggap
sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak.
Tetapi apakah rasa takut itu selalu dapat dianggap sebagai pemenuhan syarat
ketiga dari percobaan yang dengan demikian dapat dipidana, adalah tergantung
kepada sampai dimana rasa takut itu telah mempengaruhi pelaku, yang menyebabkan
dia tidak meneruskan tindakannya itu. Kalau misalnya rasa takut itu telah
mempengaruhi, yang karenanya ia mengurungkan niatnya dengan sukarela, maka
percobaan tidak terjadi. Tegasnya tenggang waktu yang masih dapat dibenarkan
untuk menyatakan rasa penyesalan dihubungkan dengan syarat kedua dan ketiga,
harus selalu menjadi perhatian dan menilainya secara kasuistis pada setiap kejadian.
Penggunaan istilah semata-mata, perlu diperhatikan pula. Hal ini berarti
meskipun pengurungan niat atau tidak meneruskan pelaksanaan tindakan tersebut
secara sukarela dan karena penyesalan, tetapi disertai dengan perasaan takut,
maka dalam hal seperti ini pelaku tetap masih dapat dipidana karena percobaan.[8]
Pembuktian yang bersifat negatif sangatlah sulit, sebab jaksa harus
membuktikan bahwa tindak pelaku telah menghentikan perbuatannya tidak sukarela,
agar dapat menurutnya dan terdakwa dipatuhi pidana atas dasar percobaan
melakukan kejahatan. Tetapi hal itu kemudian diperingan dengan putusan HR tahun
1924 yang menjadi yurisprudensi, yaitu bahwa: Barangsiapa
yang dengan sukarela mengundurkan diri tidak dapat dipidana. [9]
Jadi apabila pengunduran diri itu tidak nyata, maka adanya unsur ketika itu
dapat dibuktikan dari adanya suatu hal lain yang cukup memberikan petunjuk apa
sebabnya delik tersebut tidak selesai. Jadi tidak harus membuktikan bahwa
pengunduran diri itu tidak secara sukarela.
C.
Percobaan
Pembunuhan Menurut Hukum Islam
Hukum Pidana Islam
merupakan salah satu bagian dari syari`at Islam yang berdasarkan Al-Qur`an dan Hadist
atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetapkan hukuman. Dalam hukum ini
terdapat beberapa anggapan, di antaranya adanya anggapan yang mengatakan hukum
ini tidak relevan lagi untuk diterapkan pada zaman modern dikarenakan hukuman
ini diangap hanya berlaku pada zaman Rasul.
Anggapan ini
sebenarnya dipengahuri oleh pemikiran orientalis barat pada umumnya, yang
mengatakan hukum pidana Islam itu hukum yang kejam, tidak manusiawi, melanggar
hak asasi manusia dan sebagainya. Selanjutnya melalui skripsi ini kami mencoba menjelaskan berbagai masalah
terkait permasalah kontemporer yang saat ini menghiggapi masyarakat, kami ingin
menerangkan bahwa pada dasarnya semua masalah itu telah dibahas dikalangan
fuqaha maupun para sarjana hukum positif, hal itu adalah gabungan jarimah,
turut serta melakukan jarimah, percobaan melakukan jarimah, dan macam-macam
jarimah serta uqubahnya.[10]
Teori tentang
jarimah ’’percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqaha, bahkan istilah
Percobaan adalah permulaan dari pelaksanaan jarimah yang tidak mencapai sasaran
yang diinginkan. Pada umumnya dapat dikelompokkan pada percobaan tidak selesai
karena terdapat kendala dari luar misalnya pelaku telah membongkar dinding
rumah untuk mencuri, tetapi tidak sempat untuk mencuri karena ada peronda.
jelasnya perbuatan itu tidak selesai menurut kehendaknya.
Percobaan
sia-sia adalah Perbuatan yang selesai dikerjakan tetapi tidak mencapai sasaran
yang dikehendaki, misal seseoarang ingin membunuh orang lain dengan racun dan
diminum oleh orang tersebut, ternyata bukan air racun tetapi gula : sehingga
usaha pembunuhan gagal walaupun pekerjaannya selesai dilakukan. Tetapi ada juga
perbuatan menuju jarimah berangkai, seperti kasus pencurian barang dalam rumah
misalnya, pencuri mulai dari membongkar dinding untuk mencuri, kemudian ia
insaf dan menggagalkan niatnya untuk mencuri, kegagalan itu datang dari dalam
dirinya sendiri. Maka hal seperti itu tidak dikatagorikan dalam pengertian
percobaan.
Dapat kita
ketahui bahwa untuk melakukan suatu jarimah kadang-kadang tidak diperlukan
kejahatan lain untuk mendahuluinya, seperti pembunuhan langsung dengan senapan,
pisau atau pemukul. Tetapi adakalanya diperlukan kejahatan lain untuk
mendahuluinya, seperti pembunuhan orang dalam gedung, harus merusak atau
menghancurkan gedung itu. Pada pidana Indonesia, kita mengenal adanya gabungan
kejahatan yang real ataupun yang ideal.
Islam hanya membagi kejahatan
kepada:
1.
Qishas/diyat
2.
Hudud,
pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, khamar, memerangi Allah dan Rasul.
3.
Ta’zir yaitu
bermacam-macam pidana berkaitan dengan ketentraman umum yang dikelompokkan
sebagai perbuatan maksiat.
Pidana Islam
melihat setiap perbuatan sebagai amal yang selesai dengan hukuman. Yang tersedia.
Tidak dikenal dengan adanya percobaan pada qishas / diyat atau hudud, jika
perbuatan-perbuatan itu tidak terwujud, hukuman pun tidak dapat diterapkan.
Apabila terlaksana perbuatan menuju perbuatan sepenuhnya qishas/diyat atau
hudud yang dikenal dengan percobaan, perubahan itu disebut suatu maksiat
sepanjang berlawanan dengan nushus (nash).
Percobaan
pelanggaranpun termasuk juga perbuatan yang tergolong maksiat. Pidana Islam
pada prinsipnya, bahwa niat/perencanaan tanpa pelaksanaan perbuatan jahat, tidak
diancam dengan dosa apalagi dengan hukuman. Sedangkan niat/perencanaan kebaikan
adalah pahala. Mengenai persiapan untuk melakukan jarimah, tetap diukur apakah
perbuatan itu termasuk maksiat atau tidak. Itulah ukuran persiapan itu hukuman
atau tidak oleh pidana ta’zir.
Sesuai dengan
pendirian syara’ maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh,
apabila penganiayaan berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan
sengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap
penganiayaan saja dengan hukuman yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak
membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu
disebut ma’siat dan hukumannya adalah ta’zir.[11]
Walaupun
demikian, masalah percobaan melakukan jarimah disinggung secara umum, seperti
seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui 3 fase, yaitu
fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan. Sebagai
contoh, seseorang yang akan melakukan pencurian mula-mula berfikir apakah jadi
mencuri atau tidak. Bila telah kuat niatnya untuk mencuri, maka mempersiapkan
alat-alatnya, seperti membeli kunci atau pencongkel pintu. Selanjutnya, ia
berangkat untuk mencuri. Berikut adalah beberapa fase tersebut:
a.
Fase pemikiran
dan perencanaan (Marhalah Al-Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat dan
tidak dapat dikenai sanksi, karena menurut aturan dalam syariat Islam seseorang
tidak dapat di tuntut karena lintasan hatinya atau niatannya yang tersimpan
dalam dirinya sesuai dalam kata-kata rasulullah Saw sebagai berikut: ”tuhan memaafkan umatku dari apa yang
dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak
mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang
diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”. Meskipun menurut para ulama
tasawuf sering memikirkan hal-hal yang maksiat menunjukkan hatinya belum suci.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam syariat Islam sejak mula-mula diturunkan
tanpa mengenal pengecualian. Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana
dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat
seumur hidup atau sementara (fasal 230 dan 234). Menurut KUHP Indonesia, karena
pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau
hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun, dan karena pembunuhan biasa
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b.
Fase persiapan
(Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melakukan jarimah. Seperti membeli
senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Dalam
fase ini ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama ia tidak dikenakan sanksi
bila yang dilakukannya itu bukan suatu maksiat. Kemungkinan yang kedua
pelakunya dapat dikenakan sanksi bila perbuatannya merupakan suatu naksiat.
Alasan untuk tidak dimasukkan fase persiapan sebagai jarimah ialah bahwa
perbuatan seseorang yang biasa di hukum harus berupa perbuatan maksiat dan
maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran hak tuhan (hak masyarakat) dan
hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah yang tidak berisi suatu
kerugian nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian
maka anggapan ini masih bisa di ta’wilkan. Sedangkan menurut aturan syariah
seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan
kepada keyakinan.
c.
Fase
pelaksanaan (Marhalah Al-Tanfidz)
Dalam fase ini perbuatan seorang pelaku tindak pidana telah dapat dikenai
sanksi bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai. Pada
pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu, dan sebagainya.
Dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap
pula sebagai percobaan pencurian meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian
masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil
barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran
perbuatan dalam percobaan yang bisa di hukum ialah: apabila perbuatan tersebut
sudah sampai pada kategori maksiat. Untuk itu semua sangat erat sekali
hubungannya dengan niat pelaku. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat
penting artinya untuk menunjukkan apakah perbuatan itu maksiat atau tidak.
[4] Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1980),
[6] Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Taruma nagara, 1996),
[7] E.Y. Kanter daN S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakata: Alumni AHM-PTHM, 1982),
[10] Ahmad Hanafi, Asas-asas hukuk
pidana Islam, Bulan bintang, 2005.
[11]
Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,
PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar