PENDAHULUAN
Kendati semakin banyak
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah pekerja perempuan dan laki-laki sebgai pekerja rumah
tangga (PRT) di luar negeri, sebagian besar dari 2,6 juta orang Indonesia yang
menjadi PRT di dalam Indonesia1 masih berada di luar sistem perundangan formal.
Sebagai gantinya, hubungan kerja antara para PRT dan majikan umumnya hanya
diatur berdasarkan kepercayaan saja. Bagi banyak – mungkin sebagian besar –
para pekerja ini, kepercayaan sudah cukup; mereka
diperlakukan sebagai
anggota keluarga , mengalami pengalaman baru dan menarik, dan dapat kembali
pulang suatu saat nanti dengan pendapatan yang tidak akan mereka peroleh pada
kesempatan lain. Namun, bagi sejumlah pekerja ini, kepercayaan merupakan
pengganti yang buruk untuk perlindungan formal, dan tiadanya peraturan berujung
pada pelecehan dan eksploitasi fisik, mental, emosional atau seksual.
Makalah
ini berupaya mendalami masalah-masalah penting terkait dengan peraturan
mengenai pekerja rumah tangga di Indonesia. Makalah ini menjelaskan tentang norma-norma
hokum yang ada atau yang sedang disusun di Indonesia, baik di tingkat nasional
maupun daerah. Pembahasan diawali dengan tinjauan garis besar mengenai iklim
penegakan hukum dan sikap budaya berkenaan dengan para PRT di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum dan Sikap Budaya terhadap PRT
di Indonesia
Tidak ada undang-undang
khusus di Indonesia tentang PRT, tetapi beberapa undang-undang lain memberikan
perlindungan (lihat bagian Undang-undang Nasional di bawah ini). Akan tetapi,
sikap budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesi enggan membuat peraturan
formal tentang pekerjaan rumah tangga dan, apabila ada, mereka enggan untuk
menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan
yang melibatkan para PRT. Kenyataannya, para pekerja rumah tangga jarang sekali
disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sebagai pembantu (helper).
Praktik
menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pembantu memperkuat keengganan
budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan para
majikannya, yang banyak di antaranya berasal dari keluarga jauh atau desa
seasal. Sebagai gantinya, para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan
paternalistik, di mana mereka melindungi, member makan, tempat tinggal,
pendidikan dan memberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan
atas tenaga yang diberikan. (Di Jawa, praktik ini disebut ngenger.2) Aspek paternal dari
hubungan
kerja ini, yang
dipadukan dengan fakta bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah
keluarga dan tidak dianggap produktif secara ekonomi,3 berarti bahwa budaya
Indonesia secara umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat
pribadi.4 Di satu sisi masyarakat Indonesia mendukung tingkat keterlibatan
pemerintah yang cukup besar diberbgai aspek perekonomian dan kehidupan, namun,
disisi lain, rumah dinilai bersifat personal dan berada di luar batas jangkauan
intervensi negara.
Karena
sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antara PRT dan
majikan, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajibanpun
biasanya dilakukan secara informal. Ini artinya PRT tidak memiliki akses
terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri, yang saat ini sedang
dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para pekerja di
sector formal (lihat di bawah). Lebih lanjut, apabila suatu tindak pidana
terjadi dan pekerja memiliki hak
untuk melaporkan kasus
tersebut kepada kepolisian, bukti empiris menunjukkan bahwa pelaporan jarang
terjadi.5 Sebagai gantinya, PRT mungkin mencari bantuan untuk menyelesaikan
perselisihan dari seorang anggota keluarga, rukun tetangga, rukun warga, atau
kepala desa/lurah. Di Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK) telah
mulai menerima kasus-kasus yang melibatkan pelecehan serius, pemerkosaan dan
pembunuhan. Akan tetapi, PRT umumnya akan menyandarkan
diri pada kemurahan hati
sang majikan dan berusaha membangun hubungan yang diatur berdasarkan saling
mempercayai.
Faktor-faktor
budaya yang diuraikan di atas mengurangi kapasitas masyarakat Indonesia untuk
membuat undang-undang bagi perlindungan PRT maupun untuk menegakkan
undang-undang yang sudah ada. Sebagai contoh, ketika seseorang melapor ke
kepolisian, ia seringkali dituduh tidak mengambil langkah-langkah yang memadai
untuk menghindari kekerasan atau eksploitasi, atau bahkan memancing terjadinya
hal tersebut.
B.
Undang-undang Nasional terkait PRT di Indonesia
a. Sistem Undang-Undang Ketenagakerjaan
Interpretasi
pemerintah saat ini dalam UU Ketenagakerjaan nasional –UU No. 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan– tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum
mengenai
hubungan kerja. Kendati
“pekerja” didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau
bentuk imbalan lain”, masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan
di dalam UU tersebut. “Pengusaha” (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha
berdasarkan UU, sedangkan “pemberi kerja” hanya menanggung sebuah
kewajiban umum untuk
memberikan “perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan
kesehatan, baik mental maupun fisik” (Pasal 35).
Pemerintah
menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia
bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU
tersebut. Hal ini sebagai imbalan atas kontribusi ekonomi yang diberikan para
PRT terhadap para majikannya dengan memberikan mereka kebebasan untuk terlibat
di dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menguntungkan. Karena PRT dianggap tidak
dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang
diberikan
oleh UU terhadap pekerja
lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme
penyelesaian perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk
menurut UU
No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Interpretasi saat ini
yang diberikan oleh pemerintah sebagian berlandaskan pada keputusan Panita
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di tahun 1959,8 yang
menyatakan bahwa perselisihan yang melibatkan para PRT berada di luar
yurisdiksi sistem penyelesaian perselisihan kerja formal. Namun keputusan ini
tidak lagi menjadi yurisdiksi yang berlaku karena:
1.
P4P tidak lagi memiliki dasar hukum dan sedang dalam proses
penggantian dengan pengadilan Industrial, seiring pemberlakuan UU No. 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2.
UU yang digunakan sebagai dasar oleh P4P dalam mencapai
keputusan (UU
No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) dicabut dengan UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dengan demikian tidak lagi bisa menjadi dasar bagi
yurisprudensi yang mengikat.
3.
Penjelasan bagian 10 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara khusus
menyebutkan para PRT memiliki hak untuk berserikat, sehingga dengan demikian
memberikan bukti persuasive tentang niat parlemen menjangkau para PRT dalam
mengupayakan tersedianya UU Ketenagakerjaan.
4.
Kondisi sosial-ekonomi sudah banyak berubah sejak tahun 1959.
Pada 2005, setelah adanya sebuah laporan tentang PRT anak yang disinyalir oleh Human Rights
Watch.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris menegaskan bahwa departemennya akan
mengusulkan sebuah UU tentang PRT untuk mendapat persetujuan DPR. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi turut mendukung, termasuk penyebutan para pekerja
domestik di dalam UU Ketenagakerjaan, meski sekadar menyebutkan bahwa para PRT
akan diatur berdasarkan keputusan menteri yang akan dirumuskan kemudian. Namun,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mendesak perlunya UU nasional
terpisah tentang PRT.10 Praktik terbaik menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi
cara paling efektif memberikan perlindungan bagi PRT (lihat di bawah).
b. Undang-undang Nasional
Lain tentang PRT
1. Tinjauan Garis Besar
Sementara
sistem UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT, sejumlah UU nasional
lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski dengan masih
secara terpisah dan terbatas. UU ini meliputi:
1.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD”)
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”)
3.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
di Rumah Tangga (selanjutnya disebut “UU KDRT”)
4.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut “UU
Perlindungan Anak”)
5.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan
National (selanjutnya
disebut “UU
Pendidikan Nasional”)
6.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut “UU Hak Asasi
Manusia”)
Selain
UU ini, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan untuk mengesahkan
beberapa norma hukum internasional terkait , termasuk:
1.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right)
2.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)
3.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR)
4.
Kovenant tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convenants
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW)
5.
Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the
Child)
6.
Konvensi untuk menekan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi
Prostitusi Lain
7.
Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk
Berorganisasi, 1948 (Konvensi ILO No. 87)
8.
Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama,
1949, (Konvensi ILO No. 98)
9.
Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (Konvensi ILO No. 29)
10. Konvensi ILO tentang
Penghapusan Kerja Paksa,1957 (Konvensi ILO No. 105)
11.
Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138)
12. Konvensi ILO tentang
Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999 (Konvensi I LO No. 182)
13. Konvensi ILO tentang
Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100)
14. Konvensi ILO tentang
Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi ILO No. 111)
2. Undang-Undang Dasar
Bab XA UUD 1945 memuat berbagai perlindungan
terhadap hak asasi manusia, termasuk:
1.
Setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan dilindungi
terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi: Pasal 28B (2)
2.
Setiap orang memiliki hak untuk meningkatkan diri sendiri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya Pasal 28C (1)
3.
Setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil dan juga perlakuan yang sama dihadapan hukum:
Pasal 28D (1)
4.
Setiap orang berhak atas kesempatan kerja dan menerima
kompensasi yang adil dan wajar dari hubungan kerja: Pasal 28D (2)
5.
Setiap orang bebas untuk ... memilih pekerjaannya: Pasal 28E (1)
6.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan
informasi untuk
mengembangkan
kepribadiannya dan lingkungan sosialnya: Pasal 28F
7.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan,
martabat, dan kekayaan yang berada dibawah wewenangnya, dan juga berhak untuk
merasa aman dan dilindungi dari ancaman-ancaman atas ketakutan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu menurut hak-hak dasar: Pasal 28G (1)
8.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia dan berhak atas perlindungan
politik dari negara lain: Pasal 28G (2)
9.
Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera baik fisik maupun
spiritual, memiliki tempat untuk tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang
sesuai dan sehat, dan juga mendapatkan perawatan kesehatan: Pasal 28H (1)
10. Setiap orang berhak atas
fasilitas dan perlakuan khusus untuk kesempatan dan keuntungan yang sama untuk
mencapai persamaan dan kesetaraan: Pasal 28H (2)
11.
Setiap orang memiliki hak atas jaminan keamanan sosial yang
memungkinkan mereka untuk berkembang secara penuh sebagai seorang manuasia yang
bermartabat: Pasal 28H (3)
12. Perlindungan, kemajuan,
menjunjung tinggi dan pemenuhan hak–hak asasi manusia merupakan tanggung jawab
negara terutama pemerintah: Pasal 28I (4)
13. Untuk menjunjung tinggi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum yang demokratis,
praktik hak asasi manusia harus dijamin, diatur dan dicakupkan di dalam
perundangundangan: Pasal 28I (5)
Terdapat
(Mahkamah
Konstitusi)
untuk mengawasi penegakan hak-hak ini. Meskipun istilahnya masih kabur, hak-hak
pada pasal XA telah membentuk dasar untuk beberapa gugatan hukum yang berhasil.
Sebagai contoh, beberapa ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan
tidak berlaku atas dasar bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak sesuai dengan
perlakuan yang sama
dihadapan UU. Oleh
karena itu, diyakini bahwa menafsirkan definisi majikan dengan mengesampingkan
majikan dari PRT juga bisa dinyatakan tidak konstitusional.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP
meliputi para PRT hanya sampai batas bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdat
mencakup semua orang. Tidak ada perlindungan khusus bagi PRT secara perorangan.
Ketentuanketentuan KUHP yang kebanyakan berdampak secara langsung terhadap para
PRT adalah laranganlarangan terhadap:
1.
Pemerkosaan dan serangan seksual: Pasal 285-291
2.
Perdagangan perempuan dan anak-anak: Pasal 297
3.
Perdagangan budak: Pasal 324-327
4.
Penculikan: Pasal 328-329
5.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa
seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya: Pasal 335
6.
Pembunuhan: Pasal 338-350
7.
Pelecehan: Pasal 351-358
8.
Pemalsuan dokumen: Pasal 378
Ketentuan-ketentuan
ini hanya mencakup kasus-kasus ekstrim pelecehan dan hanya berlaku dalam
serangkaian keadaan yang terbatas. Lebih lanjut, seperti telah dibahas dimuka,
para PRT yang berusaha untuk mendapatkan hak-hak mereka berdasarkan KUHP
dihadapkan dengan berbagai kendala ketika melaporkan kejadian kepada kepolisian
dan dalam tindak lanjutnya.
4. Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
UU
Anti KDRT melarang, di dalam konteks rumah tangga, setiap tindakan yang
mengakibatkan penderitaan yang bersifat fisik, seksual ataupun psikologis atau
tindakan penelantaran. Bagian 2 UU Anti KDRT mencakup suami, isteri, anak-anak,
kerabat dan rujukan eksplisit terhadap “PRT yang tidak pulang” selama masa
kerja mereka dengan sebuah rumah tangga. Kelompok PRT ini memang yang paling
rentan.
Pasal 10 menyebutkan
bahwa korban-korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap:
1.
Perlindungan oleh keluarga, kepolisian, jaksa penuntut,
pengadilan, pengacara, organisasi social dan pihak-pihak lain.
2.
Perawatan kesehatan
3.
Penanganan secara baik dan rahasia atas kasus mereka
4.
Dukungan dari pekerja sosial dan bantuan hokum
5.
Bimbingan spiritual
Pasal
15 mengharuskan semua orang yang mengetahui adanya situasi yang melibatkan
kekerasan dalam rumah tangga untuk mengambil segala langkah yang mungkin untuk
memberikan perlindungan dan membantu agar kasus tersebut diproses oleh yang
berwajib. Pasal VI meliputi beberapa tanggung jawab kepolisian dalam menangani
laporan kekerasan dalam rumah tangga. Tanggung jawab ini termasuk tanggung jawab
untuk memberikan perlindungan, menindak lanjuti pengaduan dan menginformasikan
para korban tentang hak-hak mereka. Meskipun UU Anti KDRT dapat membantu para
PRT yang terperangkap dalam situasi kekerasan, undang-undang ini tidak
mencakupkan langkah-langkah kongkrit untuk:
1.
mensosialisasikan ketentuan-ketentuannya
2.
menangani masalah spesifik PRT
3.
menguatkan kapasitas kelembagaan untuk penegakkannya.
4.
menangani sikap-sikap budaya yang menghalangi penanganan secara
efektif (lihat di atas)
5. Undang-Undang Perlindungan Anak
Pasal
59 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “badan-badan pemerintah eksekutif dan
badan-badan pemerintah lainnya” memiliki tanggung jawab memberikan
“perlindungan khusus” kepada anak-anak (semua orang berusia di bawah usia 18
tahun) di dalam keadaan-keadaan tertentu. Beberapa di antara keadaan ini
mencakup para PRT anak dalam beberapa situasi, termasuk: anak-anak yang
dieksploitasi secara ekonomi atau social, anak-anak yang diperjualbelikan dan
anak-anak yang diculik.
Bab XII UU tersebut
mencakup hukuman kurungan sampai 15 tahun untuk orang-orang yang
memperdagangkan atau menculik anak-anak, 10 tahun bagi yang menyebabkan seorang
anak dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, dan 5 tahun bagi yang
mengetahui situasi-situasi ini tetapi
tidak melakukan apa-apa.
6. Undang-Undang Pendidikan Nasional
UU
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa setiap orang yang berusia antara 7 sampai
15 tahun harus bersekolah. UU tersebut mengharuskan semua warga negara (Pasal
6), orangtua (Pasal 7) pemerintah nasional dan daerah (Pasal 11)
bertanggungjawab untuk menjamin bahwa pendidikan bagi semua orang yang termasuk
dalam usia ini bisa terjadi. UU Pendidikan Nasional tersebut tidak menyebutkan
langkah-langkah apa yang harus diambil oleh warga negara dan pemerintah untuk
menjamin agar anak-anak bersekolah. Lebih lanjut, UU ini tidak menyebutkan
mengenai sanksi bagi orang-orang yang memperkerjakan anak-anak dengan cara
sedemikian rupa sehingga mengganggu akses mereka terhadap wajib belajar.
7. Undang-Undang Hak Asasi Manusia
UU HAM
memuat daftar serangkaian HAM yang harus dihormati oleh negara dan semua warga
negara. Banyak di antara hak-hak asasi manusia ini mempengaruhi para PRT,
misalnya:
1.
Setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar untuk tumbuh dan
berkembang secara layak (Pasal 11)
2.
Setiap orang memiliki hak atas perlindungan bagi pengembangan
pribadi, untuk mengakses pendidikan, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan
mutu hidup … (Pasal 12)
3.
Setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan
yang pantas, sesuai dengan bakat dan keterampilannya (Pasal 38 (1))
4.
Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih secara bebas
pekerjaannya dan dipekerjakan berdasarkan kondisi-kondisi yang adil (Pasal 38
(2))
5.
Setiap orang memiliki hak atas upah yang adil, sesuai dengan
standar pekerjaan yang telah diselesaikan dan cukup untuk menghidupi
keluarganya (Pasal 38 (4))
6.
Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum
dari kekerasan mental, fisik dan seksual ... (Pasal 58)
7.
Setiap anak memiliki hak atas pendidikan … (Pasal 60)
8.
Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan berbahaya yang bisa mengganggu pendidikan, kesehatan
fisik, moralitas, kehidupan social atau kesejahteraan mental/spiritual anak
tersebut (Pasal 64)
9.
Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi
seksual, penculikan, perdagangan dan narkoba (Pasal 65)
UU HAM
tidak memuat pedoman kongkrit mengenai bagaimana hak-hak ini diberlakukan atau
sanksi untuk pelanggarannya.
8. Undang-Undang Internasional
Seperti
telah disebutkan di atas, Indonesia sekarang memiliki sebuah catatan
mengesankan dalam meratifikasi konvensi-konvensi dan kovenan-kovenan
internasional. Meskipun Indonesia bertanggungjawab kepada masyarakat internasional
untuk melaksanakan perjanjian-perjanjian yang telah diratifikasinya, tidak
jelas apakah substansi perjanjian tersebut tidak mengikat secara domestic
kecuali jika dimasukkan ke dalam undang-undang khusus. Sebagai contoh, tidak
mungkin bahwa seorang pekerja rumah tangga bisa mengambil tindakan hukum
terhadap seorang majikan atau
pemerintah berdasarkan
kerugian yang dideritannya dikarenakan tidak diberlakukannya sebuah perjanjian
yang telah diratifikasi oleh Indonesia tetapi tidak secara khusus diatur dalam
undang-undang nasional.
c. Peraturan Daerah terkait dengan
Pekerjaan Rumah Tangga di Indonesia
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan
kepada pemerintah provinsi dan pemerintah daerah (Kotamadya/Kabupaten) untuk
membuat peraturan tentang semua sektor di luar dari pertahanan dan keamanan,
kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, kehakiman dan keagamaan. Hal
ini berarti, meskipun tidak ada ketidaksesuaian dengan UU nasional, pemerintah
daerah saat ini dapat secara independen mengeluarkan undang-undang tentang
masalahmasalah seperti hubungan industrial, perdagangan manusia, hak asasi
manusia, kesetaraan jender, dan masalah lain bagi para PRT. Sejumlah pemerintah
daerah saat ini memiliki UU atau RUU yang terkait degan para PRT.
1. Provinsi DKI Jakarta
Jakarta
sudah memiliki UU yang mengatur para PRT sejak pemerintahan kolonial
mengeluarkan peraturan tentang pekerjaan rumah tangga di tahun 1825. Saat ini
DKI Jakarta memiliki dua UU yang terkait dengan para PRT. Pertama, yang
dikeluarkan sebelum rezim otonomi daerah (dengan persetujuan dari pemerintah
pusat), adalah Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1993 tentang Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Rumah
Tangga.
Kedua lebih bersifat umum, yakni Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004
tentang Ketenagakerjaan. Peraturan tahun 1993
dan pedoman pelaksanaannya, sebagaimana disebutkan di dalam surat Keputusan
Gubernur No.
1099 tahun 1994, merupakan satu langkah positif bagi para PRT mengingat
keputusan ini memberikan titik acuan hukum spesifik tentang pekerjaan rumah
tangga. Kekuatankekuatan keputusan tersebut adalah :
1.
Peraturan ini mengharuskan agen-agen perekrutan dan penempatan
untuk menjamin bahwa para klien PRTnya diberi akomodasi, pelatihan, perawatan
kesehatan, pekerjaan sekurang-kurangnya 6 bulan, pilihan pekerjaan, kontrak
tertulis, dan tidak ada biaya yang dibebankan oleh agen tersebut.
2.
Peraturan ini mengharuskan para majikan untuk memberikan para
PRT upah, makanan, minuman, cuti tahunan, sepasang pakaian baru setiap tahun,
tempat yang layak untuk tidur, perlakuan yang manusiawi, kesempatan beribadah,
perawatan kesehatan dasar, pendaftaran di kelurahan, pendaftaran di kantor tenaga
kerja Jakarta (jika tidak menggunakan agen)
3.
Surat keputusan ini mengharuskan kantor gubernur Jakarta untuk
menunjuk sebuat tim penyelesaian perselisihan PRT.
4.
Surat keputusan ini memuat sanksi penjara sampai tiga bulan
untuk pelanggaran.
Peraturan
tahun 1993 juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan oleh factor
bahwa: tidak disosialisasikan dengan baik, dan dengan demikian tidak ditegakkan
dengan baik, statusnya kurang jelas mengingat bahwa peraturan ini mendahului UU
Ketenagakerjaan Nasional dan mengandung kelemahan semantik dalam hal bahwa para PRT menurut
istilah sanksekerta disebut sebagai pramuwisma (“pelayan rumah”) dan bukannya dengan bahasa yang secara tegas
menekankan peranan mereka sebagai pekerja, yakni pekerja rumah
tangga12
Standar Internasional dan Peraturan tentang PRT mengandung beberapa kelemahan
substantif, seperti:
- Tidak ada peraturan
tentang hari istirahat, waktu istirahat atau lembur (hanya disebutkan cuti
tahunan)
- Tidak ada upah minimum
- Tidak Ada hak tegas
untuk menghubungi orangtua atau kerabat
- Tidak ada hak tegas
untuk diberi detil kontak darurat
- Tidak ada uraian
mengenai hak PRT untuk berserikat, mengorganisasikan diri, dan
mengungkapkan secara
bebas pendapat mereka untuk tujuan meningkatkan kondisi kerja mereka
- Tidak ada penyebutan
ulang mengenai larangan nasional tentang PRT anak
- Tidak ada ketentuan
pengawasan kerja
Bab 11
Peraturan Tahun 2004 secara khusus berhubungan dengan para PRT. Bab tersebut
disusun dengan sangat luas, yang secara sederhana menyebutkan bahwa agen-agen
perekrutan/penempatan harus memberikan akomodasi dan “fasilitas kesejahteraan”
bagi para PRT, dan bahwa para majikan harus membuat kontrak tertulis dan
mendaftarkan mereka ke kantor gubernur. Bagian lain dari bab tersebut
menguraikan tentang pembayaran perizinan yang harus dilakukan oleh agen-agen
kepada pemerintah provinsi Jakarta.
2. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pekerjaan
Rumah
Tangga
Pada
Maret 2001, sebuah LSM yang berbasis di Yogyakarta, Rumpun Tjoet
Njak Dien (RTND),
mengajukan sebuah rancangan peraturan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi Yogyakarta, kendati gubernur mengeluarkan surat edaran
yang menghimbau tindakan kongkrit untuk perlindungan para PRT, rancangan
tersebut banyak diabaikan, mungkin karena sikap budaya terhadap pekerjaan rumah
tangga (lihat di atas). RTND sekarang berfokus pada pemerintahan satu tingkat
lebih bawah di satu provinsi, agar pemerintah kotamadya dan kabupaten
mengeluarkan peraturan
tentang PRT. Sudah ada tanda-tanda
positif yang jelas dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman
(keduanya berada di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta). Di Semarang,
Jawa tengah, Jaringan Perawatan Perempuan dan Anak-anak (JPPA) pun telah
menyerahkan RUU kepada DPRD tentang PRTA. Namun belum ada hasil yang
menggembirakan. Jaringan Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak
(JAKPA) di Sulawesi Utara pun telah menyerahkan RUU kepada Pemerintah Kota
Manado dan saat ini sedang menunggu jawaban.
3. Undang-Undang Pemberantasan Perdagangan
Manusia
Pemerintah
provinsi Sumatra Utara, yang merupakan titik asal perdagangan manusia ke
Singapura dan Malaysia, maupun Sulawesi Utara, yang merupakan daerah asal
tujuan untuk perdagangan manusia antara Indonesia dengan Filipina, telah
mengeluarkan UU Anti Perdagangan Manusia. Keduanya, pada dasarnya, adalah UU
kerangka kerja, yang membutuhkan pembentukan gugus tugas. UU ini juga berusaha
mengendalikan perdagangan manusia dengan mengharuskan semua perempuan yang
ingin bekerja di luar desanya mendapatkan “izin kerja” dari camat. Hal ini
tidak mencegah terjadinya perdagangan manusia ke atau dari provinsi-provinsi
lain, dan tidak mungkin untuk diberlakukan di dalam provinsi di mana sudah
terdapat UU. Disamping itu, peraturan ini membebankan kewajiban kepada para
perempuan pencari kerja dan bukannya kepada para pihak terkait lain, misalnya
kepolisian, kejaksaan,
majikan, agen, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar