Sabtu, 17 Desember 2011

PERATURAN TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG UNDANG DAN BUDAYA INDONESIA


PENDAHULUAN

Kendati semakin banyak Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah pekerja  perempuan dan laki-laki sebgai pekerja rumah tangga (PRT) di luar negeri, sebagian besar dari 2,6 juta orang Indonesia yang menjadi PRT di dalam Indonesia1 masih berada di luar sistem perundangan formal. Sebagai gantinya, hubungan kerja antara para PRT dan majikan umumnya hanya diatur berdasarkan kepercayaan saja. Bagi banyak – mungkin sebagian besar – para pekerja ini, kepercayaan sudah cukup; mereka
diperlakukan sebagai anggota keluarga , mengalami pengalaman baru dan menarik, dan dapat kembali pulang suatu saat nanti dengan pendapatan yang tidak akan mereka peroleh pada kesempatan lain. Namun, bagi sejumlah pekerja ini, kepercayaan merupakan pengganti yang buruk untuk perlindungan formal, dan tiadanya peraturan berujung pada pelecehan dan eksploitasi fisik, mental, emosional atau seksual.
Makalah ini berupaya mendalami masalah-masalah penting terkait dengan peraturan mengenai pekerja rumah tangga di Indonesia. Makalah ini menjelaskan tentang norma-norma hokum yang ada atau yang sedang disusun di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pembahasan diawali dengan tinjauan garis besar mengenai iklim penegakan hukum dan sikap budaya berkenaan dengan para PRT di Indonesia.


PEMBAHASAN

A.  Penegakan Hukum dan Sikap Budaya terhadap PRT di Indonesia

Tidak ada undang-undang khusus di Indonesia tentang PRT, tetapi beberapa undang-undang lain memberikan perlindungan (lihat bagian Undang-undang Nasional di bawah ini). Akan tetapi, sikap budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesi enggan membuat peraturan formal tentang pekerjaan rumah tangga dan, apabila ada, mereka enggan untuk menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para PRT. Kenyataannya, para pekerja rumah tangga jarang sekali disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sebagai pembantu (helper).

            Praktik menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pembantu memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan para majikannya, yang banyak di antaranya berasal dari keluarga jauh atau desa seasal. Sebagai gantinya, para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan paternalistik, di mana mereka melindungi, member makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. (Di Jawa, praktik ini disebut ngenger.2) Aspek paternal dari hubungan
kerja ini, yang dipadukan dengan fakta bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah keluarga dan tidak dianggap produktif secara ekonomi,3 berarti bahwa budaya Indonesia secara umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat pribadi.4 Di satu sisi masyarakat Indonesia mendukung tingkat keterlibatan pemerintah yang cukup besar diberbgai aspek perekonomian dan kehidupan, namun, disisi lain, rumah dinilai bersifat personal dan berada di luar batas jangkauan intervensi negara.
Karena sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antara PRT dan majikan, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajibanpun biasanya dilakukan secara informal. Ini artinya PRT tidak memiliki akses terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri, yang saat ini sedang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para pekerja di sector formal (lihat di bawah). Lebih lanjut, apabila suatu tindak pidana terjadi dan pekerja memiliki hak
untuk melaporkan kasus tersebut kepada kepolisian, bukti empiris menunjukkan bahwa pelaporan jarang terjadi.5 Sebagai gantinya, PRT mungkin mencari bantuan untuk menyelesaikan perselisihan dari seorang anggota keluarga, rukun tetangga, rukun warga, atau kepala desa/lurah. Di Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK) telah mulai menerima kasus-kasus yang melibatkan pelecehan serius, pemerkosaan dan pembunuhan. Akan tetapi, PRT umumnya akan menyandarkan
diri pada kemurahan hati sang majikan dan berusaha membangun hubungan yang diatur berdasarkan saling mempercayai.
Faktor-faktor budaya yang diuraikan di atas mengurangi kapasitas masyarakat Indonesia untuk membuat undang-undang bagi perlindungan PRT maupun untuk menegakkan undang-undang yang sudah ada. Sebagai contoh, ketika seseorang melapor ke kepolisian, ia seringkali dituduh tidak mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menghindari kekerasan atau eksploitasi, atau bahkan memancing terjadinya hal tersebut.

B. Undang-undang Nasional terkait PRT di Indonesia

a.  Sistem Undang-Undang Ketenagakerjaan

Interpretasi pemerintah saat ini dalam UU Ketenagakerjaan nasional –UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan– tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja” didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain”, masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan di dalam UU tersebut. “Pengusaha” (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan UU, sedangkan “pemberi kerja” hanya menanggung sebuah
kewajiban umum untuk memberikan “perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik” (Pasal 35).

Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut. Hal ini sebagai imbalan atas kontribusi ekonomi yang diberikan para PRT terhadap para majikannya dengan memberikan mereka kebebasan untuk terlibat di dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menguntungkan. Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan
oleh UU terhadap pekerja lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Interpretasi saat ini yang diberikan oleh pemerintah sebagian berlandaskan pada keputusan Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di tahun 1959,8 yang menyatakan bahwa perselisihan yang melibatkan para PRT berada di luar yurisdiksi sistem penyelesaian perselisihan kerja formal. Namun keputusan ini tidak lagi menjadi yurisdiksi yang berlaku karena:
1.       P4P tidak lagi memiliki dasar hukum dan sedang dalam proses penggantian dengan pengadilan Industrial, seiring pemberlakuan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
2.      UU yang digunakan sebagai dasar oleh P4P dalam mencapai keputusan (UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) dicabut dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dengan demikian tidak lagi bisa menjadi dasar bagi yurisprudensi yang mengikat.
3.      Penjelasan bagian 10 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara khusus menyebutkan para PRT memiliki hak untuk berserikat, sehingga dengan demikian memberikan bukti persuasive tentang niat parlemen menjangkau para PRT dalam mengupayakan tersedianya UU Ketenagakerjaan.
4.      Kondisi sosial-ekonomi sudah banyak berubah sejak tahun 1959. Pada 2005, setelah adanya sebuah laporan tentang PRT anak yang disinyalir oleh Human Rights Watch.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris menegaskan bahwa departemennya akan mengusulkan sebuah UU tentang PRT untuk mendapat persetujuan DPR. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi turut mendukung, termasuk penyebutan para pekerja domestik di dalam UU Ketenagakerjaan, meski sekadar menyebutkan bahwa para PRT akan diatur berdasarkan keputusan menteri yang akan dirumuskan kemudian. Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mendesak perlunya UU nasional terpisah tentang PRT.10 Praktik terbaik menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi cara paling efektif memberikan perlindungan bagi PRT (lihat di bawah).

b. Undang-undang Nasional Lain tentang PRT

1. Tinjauan Garis Besar

Sementara sistem UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT, sejumlah UU nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski dengan masih secara terpisah dan terbatas. UU ini meliputi:
1.       Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD”)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”)
3.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Rumah Tangga (selanjutnya disebut “UU KDRT”)
4.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut “UU Perlindungan Anak”)
5.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan National (selanjutnya disebut “UU Pendidikan Nasional”)
6.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut “UU Hak Asasi Manusia”)

Selain UU ini, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan untuk mengesahkan beberapa norma hukum internasional terkait , termasuk:
1.       Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right)
2.      Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)
3.      Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR)
4.      Kovenant tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convenants on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW)
5.      Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
6.      Konvensi untuk menekan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi Lain
7.      Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (Konvensi ILO No. 87)
8.     Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama, 1949, (Konvensi ILO No. 98)
9.      Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (Konvensi ILO No. 29)
10.  Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa,1957 (Konvensi ILO No. 105)
11.   Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138)
12.  Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999 (Konvensi I    LO No. 182)
13.  Konvensi ILO tentang Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100)
14.  Konvensi ILO tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi ILO No. 111)

2. Undang-Undang Dasar

Bab XA UUD 1945 memuat berbagai perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk:
1.       Setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan dilindungi terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi: Pasal 28B (2)
2.      Setiap orang memiliki hak untuk meningkatkan diri sendiri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya Pasal 28C (1)
3.      Setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan juga perlakuan yang sama dihadapan hukum: Pasal 28D (1)
4.      Setiap orang berhak atas kesempatan kerja dan menerima kompensasi yang adil dan wajar dari hubungan kerja: Pasal 28D (2)
5.      Setiap orang bebas untuk ... memilih pekerjaannya: Pasal 28E (1)
6.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi untuk
mengembangkan kepribadiannya dan lingkungan sosialnya: Pasal 28F
7.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat, dan kekayaan yang berada dibawah wewenangnya, dan juga berhak untuk merasa aman dan dilindungi dari ancaman-ancaman atas ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut hak-hak dasar: Pasal 28G (1)
8.     Setiap orang memiliki kebebasan untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia dan berhak atas perlindungan politik dari negara lain: Pasal   28G (2)
9.      Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera baik fisik maupun spiritual, memiliki tempat untuk tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sesuai dan sehat, dan juga mendapatkan perawatan kesehatan: Pasal 28H (1)
10.  Setiap orang berhak atas fasilitas dan perlakuan khusus untuk kesempatan dan keuntungan yang sama untuk mencapai persamaan dan kesetaraan: Pasal 28H (2)
11.   Setiap orang memiliki hak atas jaminan keamanan sosial yang memungkinkan mereka untuk berkembang secara penuh sebagai seorang manuasia yang bermartabat: Pasal 28H (3)
12.  Perlindungan, kemajuan, menjunjung tinggi dan pemenuhan hak–hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara terutama pemerintah: Pasal 28I (4)
13.  Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum yang demokratis, praktik hak asasi manusia harus dijamin, diatur dan dicakupkan di dalam perundangundangan: Pasal 28I (5)

Terdapat (Mahkamah Konstitusi) untuk mengawasi penegakan hak-hak ini. Meskipun istilahnya masih kabur, hak-hak pada pasal XA telah membentuk dasar untuk beberapa gugatan hukum yang berhasil. Sebagai contoh, beberapa ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan tidak berlaku atas dasar bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak sesuai dengan perlakuan yang sama
dihadapan UU. Oleh karena itu, diyakini bahwa menafsirkan definisi majikan dengan mengesampingkan majikan dari PRT juga bisa dinyatakan tidak konstitusional.

3.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KUHP meliputi para PRT hanya sampai batas bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdat mencakup semua orang. Tidak ada perlindungan khusus bagi PRT secara perorangan. Ketentuanketentuan KUHP yang kebanyakan berdampak secara langsung terhadap para PRT adalah laranganlarangan terhadap:
1.       Pemerkosaan dan serangan seksual: Pasal 285-291
2.      Perdagangan perempuan dan anak-anak: Pasal 297
3.      Perdagangan budak: Pasal 324-327
4.      Penculikan: Pasal 328-329
5.      Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya: Pasal 335
6.      Pembunuhan: Pasal 338-350
7.      Pelecehan: Pasal 351-358
8.     Pemalsuan dokumen: Pasal 378

Ketentuan-ketentuan ini hanya mencakup kasus-kasus ekstrim pelecehan dan hanya berlaku dalam serangkaian keadaan yang terbatas. Lebih lanjut, seperti telah dibahas dimuka, para PRT yang berusaha untuk mendapatkan hak-hak mereka berdasarkan KUHP dihadapkan dengan berbagai kendala ketika melaporkan kejadian kepada kepolisian dan dalam tindak lanjutnya.

4.  Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UU Anti KDRT melarang, di dalam konteks rumah tangga, setiap tindakan yang mengakibatkan penderitaan yang bersifat fisik, seksual ataupun psikologis atau tindakan penelantaran. Bagian 2 UU Anti KDRT mencakup suami, isteri, anak-anak, kerabat dan rujukan eksplisit terhadap “PRT yang tidak pulang” selama masa kerja mereka dengan sebuah rumah tangga. Kelompok PRT ini memang yang paling rentan.
Pasal 10 menyebutkan bahwa korban-korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap:
1.       Perlindungan oleh keluarga, kepolisian, jaksa penuntut, pengadilan, pengacara, organisasi social dan pihak-pihak lain.
2.      Perawatan kesehatan
3.      Penanganan secara baik dan rahasia atas kasus mereka
4.      Dukungan dari pekerja sosial dan bantuan hokum
5.      Bimbingan spiritual

Pasal 15 mengharuskan semua orang yang mengetahui adanya situasi yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga untuk mengambil segala langkah yang mungkin untuk memberikan perlindungan dan membantu agar kasus tersebut diproses oleh yang berwajib. Pasal VI meliputi beberapa tanggung jawab kepolisian dalam menangani laporan kekerasan dalam rumah tangga. Tanggung jawab ini termasuk tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, menindak lanjuti pengaduan dan menginformasikan para korban tentang hak-hak mereka. Meskipun UU Anti KDRT dapat membantu para PRT yang terperangkap dalam situasi kekerasan, undang-undang ini tidak mencakupkan langkah-langkah kongkrit untuk:
1.       mensosialisasikan ketentuan-ketentuannya
2.      menangani masalah spesifik PRT
3.      menguatkan kapasitas kelembagaan untuk penegakkannya.
4.      menangani sikap-sikap budaya yang menghalangi penanganan secara efektif (lihat di atas)

5.  Undang-Undang Perlindungan Anak

Pasal 59 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “badan-badan pemerintah eksekutif dan badan-badan pemerintah lainnya” memiliki tanggung jawab memberikan “perlindungan khusus” kepada anak-anak (semua orang berusia di bawah usia 18 tahun) di dalam keadaan-keadaan tertentu. Beberapa di antara keadaan ini mencakup para PRT anak dalam beberapa situasi, termasuk: anak-anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau social, anak-anak yang diperjualbelikan dan anak-anak yang diculik.
Bab XII UU tersebut mencakup hukuman kurungan sampai 15 tahun untuk orang-orang yang memperdagangkan atau menculik anak-anak, 10 tahun bagi yang menyebabkan seorang anak dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, dan 5 tahun bagi yang mengetahui situasi-situasi ini tetapi
tidak melakukan apa-apa.

6.  Undang-Undang Pendidikan Nasional

UU Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa setiap orang yang berusia antara 7 sampai 15 tahun harus bersekolah. UU tersebut mengharuskan semua warga negara (Pasal 6), orangtua (Pasal 7) pemerintah nasional dan daerah (Pasal 11) bertanggungjawab untuk menjamin bahwa pendidikan bagi semua orang yang termasuk dalam usia ini bisa terjadi. UU Pendidikan Nasional tersebut tidak menyebutkan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh warga negara dan pemerintah untuk menjamin agar anak-anak bersekolah. Lebih lanjut, UU ini tidak menyebutkan mengenai sanksi bagi orang-orang yang memperkerjakan anak-anak dengan cara sedemikian rupa sehingga mengganggu akses mereka terhadap wajib belajar.

7.  Undang-Undang Hak Asasi Manusia

UU HAM memuat daftar serangkaian HAM yang harus dihormati oleh negara dan semua warga negara. Banyak di antara hak-hak asasi manusia ini mempengaruhi para PRT, misalnya:
1.       Setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11)
2.      Setiap orang memiliki hak atas perlindungan bagi pengembangan pribadi, untuk mengakses pendidikan, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan mutu hidup … (Pasal 12)
3.      Setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan yang pantas, sesuai dengan bakat dan keterampilannya (Pasal 38 (1))
4.      Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih secara bebas pekerjaannya dan dipekerjakan berdasarkan kondisi-kondisi yang adil (Pasal 38 (2))
5.       Setiap orang memiliki hak atas upah yang adil, sesuai dengan standar pekerjaan yang telah diselesaikan dan cukup untuk menghidupi keluarganya (Pasal 38 (4))
6.      Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan mental, fisik dan seksual ... (Pasal 58)
7.      Setiap anak memiliki hak atas pendidikan … (Pasal 60)
8.     Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan berbahaya yang bisa mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moralitas, kehidupan social atau kesejahteraan mental/spiritual anak tersebut (Pasal 64)
9.      Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan dan narkoba (Pasal 65)
UU HAM tidak memuat pedoman kongkrit mengenai bagaimana hak-hak ini diberlakukan atau sanksi untuk pelanggarannya.



8.  Undang-Undang Internasional

Seperti telah disebutkan di atas, Indonesia sekarang memiliki sebuah catatan mengesankan dalam meratifikasi konvensi-konvensi dan kovenan-kovenan internasional. Meskipun Indonesia bertanggungjawab kepada masyarakat internasional untuk melaksanakan perjanjian-perjanjian yang telah diratifikasinya, tidak jelas apakah substansi perjanjian tersebut tidak mengikat secara domestic kecuali jika dimasukkan ke dalam undang-undang khusus. Sebagai contoh, tidak mungkin bahwa seorang pekerja rumah tangga bisa mengambil tindakan hukum terhadap seorang majikan atau
pemerintah berdasarkan kerugian yang dideritannya dikarenakan tidak diberlakukannya sebuah perjanjian yang telah diratifikasi oleh Indonesia tetapi tidak secara khusus diatur dalam undang-undang nasional.

c. Peraturan Daerah terkait dengan Pekerjaan Rumah Tangga di Indonesia

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah daerah (Kotamadya/Kabupaten) untuk membuat peraturan tentang semua sektor di luar dari pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, kehakiman dan keagamaan. Hal ini berarti, meskipun tidak ada ketidaksesuaian dengan UU nasional, pemerintah daerah saat ini dapat secara independen mengeluarkan undang-undang tentang masalahmasalah seperti hubungan industrial, perdagangan manusia, hak asasi manusia, kesetaraan jender, dan masalah lain bagi para PRT. Sejumlah pemerintah daerah saat ini memiliki UU atau RUU yang terkait degan para PRT.

1.  Provinsi DKI Jakarta

Jakarta sudah memiliki UU yang mengatur para PRT sejak pemerintahan kolonial mengeluarkan peraturan tentang pekerjaan rumah tangga di tahun 1825. Saat ini DKI Jakarta memiliki dua UU yang terkait dengan para PRT. Pertama, yang dikeluarkan sebelum rezim otonomi daerah (dengan persetujuan dari pemerintah pusat), adalah Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1993 tentang Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga. Kedua lebih bersifat umum, yakni Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan tahun 1993 dan pedoman pelaksanaannya, sebagaimana disebutkan di dalam surat Keputusan Gubernur No. 1099 tahun 1994, merupakan satu langkah positif bagi para PRT mengingat keputusan ini memberikan titik acuan hukum spesifik tentang pekerjaan rumah tangga. Kekuatankekuatan keputusan tersebut adalah :
1.       Peraturan ini mengharuskan agen-agen perekrutan dan penempatan untuk menjamin bahwa para klien PRTnya diberi akomodasi, pelatihan, perawatan kesehatan, pekerjaan sekurang-kurangnya 6 bulan, pilihan pekerjaan, kontrak tertulis, dan tidak ada biaya yang dibebankan oleh agen tersebut.
2.      Peraturan ini mengharuskan para majikan untuk memberikan para PRT upah, makanan, minuman, cuti tahunan, sepasang pakaian baru setiap tahun, tempat yang layak untuk tidur, perlakuan yang manusiawi, kesempatan beribadah, perawatan kesehatan dasar, pendaftaran di kelurahan, pendaftaran di kantor tenaga kerja Jakarta (jika tidak menggunakan agen)
3.      Surat keputusan ini mengharuskan kantor gubernur Jakarta untuk menunjuk sebuat tim penyelesaian perselisihan PRT.
4.      Surat keputusan ini memuat sanksi penjara sampai tiga bulan untuk pelanggaran.

Peraturan tahun 1993 juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan oleh factor bahwa: tidak disosialisasikan dengan baik, dan dengan demikian tidak ditegakkan dengan baik, statusnya kurang jelas mengingat bahwa peraturan ini mendahului UU Ketenagakerjaan Nasional dan mengandung kelemahan semantik dalam hal bahwa para PRT menurut istilah sanksekerta disebut sebagai pramuwisma (“pelayan rumah”) dan bukannya dengan bahasa yang secara tegas menekankan peranan mereka sebagai pekerja, yakni pekerja rumah tangga12 Standar Internasional dan Peraturan tentang PRT mengandung beberapa kelemahan substantif, seperti:
- Tidak ada peraturan tentang hari istirahat, waktu istirahat atau lembur (hanya disebutkan cuti tahunan)
- Tidak ada upah minimum
- Tidak Ada hak tegas untuk menghubungi orangtua atau kerabat
- Tidak ada hak tegas untuk diberi detil kontak darurat
- Tidak ada uraian mengenai hak PRT untuk berserikat, mengorganisasikan diri, dan
mengungkapkan secara bebas pendapat mereka untuk tujuan meningkatkan kondisi kerja mereka
- Tidak ada penyebutan ulang mengenai larangan nasional tentang PRT anak
- Tidak ada ketentuan pengawasan kerja
Bab 11 Peraturan Tahun 2004 secara khusus berhubungan dengan para PRT. Bab tersebut disusun dengan sangat luas, yang secara sederhana menyebutkan bahwa agen-agen perekrutan/penempatan harus memberikan akomodasi dan “fasilitas kesejahteraan” bagi para PRT, dan bahwa para majikan harus membuat kontrak tertulis dan mendaftarkan mereka ke kantor gubernur. Bagian lain dari bab tersebut menguraikan tentang pembayaran perizinan yang harus dilakukan oleh agen-agen kepada pemerintah provinsi Jakarta.

2.  Rancangan Peraturan Daerah tentang Pekerjaan Rumah
Tangga
Pada Maret 2001, sebuah LSM yang berbasis di Yogyakarta, Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), mengajukan sebuah rancangan peraturan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Yogyakarta, kendati gubernur mengeluarkan surat edaran yang menghimbau tindakan kongkrit untuk perlindungan para PRT, rancangan tersebut banyak diabaikan, mungkin karena sikap budaya terhadap pekerjaan rumah tangga (lihat di atas). RTND sekarang berfokus pada pemerintahan satu tingkat lebih bawah di satu provinsi, agar pemerintah kotamadya dan kabupaten mengeluarkan peraturan
tentang PRT. Sudah ada tanda-tanda positif yang jelas dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (keduanya berada di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta). Di Semarang, Jawa tengah, Jaringan Perawatan Perempuan dan Anak-anak (JPPA) pun telah menyerahkan RUU kepada DPRD tentang PRTA. Namun belum ada hasil yang menggembirakan. Jaringan Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak (JAKPA) di Sulawesi Utara pun telah menyerahkan RUU kepada Pemerintah Kota Manado dan saat ini sedang menunggu jawaban.


3.  Undang-Undang Pemberantasan Perdagangan Manusia

Pemerintah provinsi Sumatra Utara, yang merupakan titik asal perdagangan manusia ke Singapura dan Malaysia, maupun Sulawesi Utara, yang merupakan daerah asal tujuan untuk perdagangan manusia antara Indonesia dengan Filipina, telah mengeluarkan UU Anti Perdagangan Manusia. Keduanya, pada dasarnya, adalah UU kerangka kerja, yang membutuhkan pembentukan gugus tugas. UU ini juga berusaha mengendalikan perdagangan manusia dengan mengharuskan semua perempuan yang ingin bekerja di luar desanya mendapatkan “izin kerja” dari camat. Hal ini tidak mencegah terjadinya perdagangan manusia ke atau dari provinsi-provinsi lain, dan tidak mungkin untuk diberlakukan di dalam provinsi di mana sudah terdapat UU. Disamping itu, peraturan ini membebankan kewajiban kepada para perempuan pencari kerja dan bukannya kepada para pihak terkait lain, misalnya
kepolisian, kejaksaan, majikan, agen, dan sebagainya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar